Kenapa Orang Percaya Teori Konspirasi?


Dahulu sekali, saya pernah menulis artikel berjudul Penjelasan atas Teori Konspirasi Pendaratan Bulan yang isinya, tentu saja tentang pembantahan atas teori konspirasi kalau manusia tidak pernah mendarat di bulan. Lalu saya kembali menulis artikel berjudul Orang Indonesia, Takut Akan Ilmu Pengetahuan? tentang bagaimana orang berilmu malah dipandang sebelah mata. Lima tahun setelah artikel itu ditulis, pembahasan yang ada kian relevan. Saat ini kita hadir di era informasi, sebuah era dimana setiap orang dapat mengeluarkan isi pendapatnya. Banyak dari pendapat itu yang baik namun tak jarang ada juga yang malah berujung menjadi disinformasi, bahkan menjadi hoaks.

Kasus hoaks sebetulnya lebih mudah ditangani daripada kasus yang satu ini. Yes, Konspirasi. Hoaks dapat ditangani melalui konfirmasi dari pihak berwajib atau media yang lebih kredibel namun pemercaya konspirasi menganggap pihak berwajib atau media yang lebih kredibel itu sebagai agen-agen satanik yang juga tidak bisa mereka percaya.

Apa itu Teori Konspirasi?

Pada dasarnya, teori konspirasi adalah ketidakpercayaan terhadap suatu fenomena yang terjadi begitu saja, melainkan sudah dirancang sedemikian rupa agar sesuatu itu terjadi. Teori konspirasi biasanya dilandasi suatu fenomena, misalnya ketidakpercayaan terhadap pendaratan manusia di bulan, ketidakpercayaan kalau bumi berbentuk bulat, ketidakpercayaan kalau vaksin dapat mencegah penyakit, dan pada biasanya apapun fenomenanya akan berujung pada suatu narasi bahwa: "dunia ini dikendalikan oleh sekelompok orang, yaitu para elit global". 

Ironisnya, ketidakpercayaan pada suatu fenomena ini tidak disanggah menggunakan metode ilmiah yang layak, tapi malah menciptakan teori baru yang sama sekali berkebalikan dengan fakta yang ada. Ketika teori baru ini disanggah, senjata mereka akan dikeluarkan: "semua fakta telah dikendalikan dan ditutup-tutupi oleh elit global sehingga kita tidak pernah tahu fakta sebenarnya". Terlihat gila, bukan?

Lalu, Mengapa Banyak yang Percaya?

Otak manusia merupakan organ yang paling boros energi diantara organ-organ lainnya. Pada saat tidur saja, otak masih memakan 20% dari total energi tubuh. Pada kasus ekstrim, seperti pada kasus juara dunia catur, dapat menghabiskan hingga 6000 kalori dalam sehari tanpa melakukan aktivitas fisik signifikan sama sekali. Hal itulah yang menyebabkan otak manusia punya kecenderungan untuk menghemat energi dengan cara memberikan rasa malas, lelah, dan mengantuk. 

Di sisi lain, otak manusia juga merupakan organ yang memiliki rasa penasaran yang tinggi. Organ ini menuntut kita untuk senantiasa bertanya dan harus ada jawabnya. Karena itu, kita sering kali tidak bisa tidur nyenyak apabila ada sesuatu yang masih membuat kita penasaran - seperti apa isi dari resep rahasia krabby patty misalnya.

Teori konspirasi sangat tepat untuk memenuhi kedua kebutuhan ini. Di era informasi ini, segala sesuatu menjadi sangat kompleks. Untuk memahami suatu fenomena, kita harus memiliki pengetahuan dasar seperti matematika, fisika, geografi yang mempelajarinya tentu sangat menguras tenaga otak. Teori konspirasi hadir sebagai penjelasan yang easy-to-bite. Sebagai sesuatu yang bisa menjawab rasa penasaran kita sebagai sesuatu sekaligus menghemat daya otak agar tidak berpikir terlalu keras.

Cognitive Bias dan Confirmation Bias

Fenomena barusan memiliki nama resmi yang lebih edgy, yaitu Cognitive Bias. Keadaan dimana otak menciptakan "realita yang subjektif" ketika diberi suatu masukan atau kejadian. Ada banyak sekali jenis cognitive bias, tapi kali ini kita akan bahas jenis yang paling relevan dengan fenomena teori konspirasi yaitu confirmation bias.

Confirmation bias adalah sebuah kecenderungan untuk mencari informasi yang relevan dengan presumsi awal kita dan mengabaikan informasi yang tidak sesuai. 

Di dunia sains, kita mengenal yang namanya ketidakpastian. Dalam statistik ada istilah tingkat kepercayaan, dalam perhitungan numerik ada istilah eror, atau dalam peluang ada istilah false positive dan false negative. Ketidakpastian itu menggambarkan bahwa sains tidak 100% benar, terbuka peluang untuk terjadi kesalahan dalam tiap penelitian walau peluangnya kecil. Tidak sedikit kesalahan itu yang akhirnya terlanjur terpublikasi. Publikasi yang mengandung informasi salah inilah yang biasanya dimanfaatkan oleh para pemercaya konspirasi untuk menguatkan argumennya agar sedikit berbau 'ilmiah'. Contohnya, pada kasus pemercaya vaksin menyebabkan autis, mereka menggunakan paper yang ditulis oleh Andrew Wakefield tentang hubungan vaksin dan autisme. Walaupun saat ini paper tersebut sudah didiskreditkan, pemercaya konspirasi tetap mempercayai bahwa paper tersebut merupakan 'informasi yang dibungkam'.

Selain publikasi, terkadang para pemercaya konspirasi juga menggunakan omongan orang terkenal atau ahli di bidangnya sebagai tameng dari konspirasinya. Contohnya, pada kasus pemercaya coronavirus merupakan konspirasi elit global, mereka sering kali menyalahgunakan perkataan dari Dr. Terawan (Menteri Kesehatan RI 2020) seperti "coronavirus tidak berbahaya", "yang sehat tidak perlu pakai masker", dll. Padahal, pernyataan itu bisa diulik jelas rasionalitasnya. Contohnya, "coronavirus tidak berbahaya" adalah berdasarkan data bahwa tingkat kematiannya lebih rendah dari virus sejenis serta untuk membuat masyarakat tetap tenang. Lalu, "yang sehat tidak perlu pakai masker" adalah untuk mengatasi pasokan masker medis yang kala itu sedang langka.

Selain publikasi dan omongan ahli, para pemercaya konspirasi juga menggunakan hoaks untuk mendukung kepercayaannya. Media ini merupakan yang paling sering digunakan. Para pemercaya konspirasi lain juga dapat dengan mudah mempercayai berita hoaks ini karena mindset awal mereka: "semua fakta telah dikendalikan dan ditutup-tutupi oleh elit global sehingga kita tidak pernah tahu fakta sebenarnya".

Objective Truth

Sains identik dengan kebenaran yang objektif. Inilah yang menjadi landasan bahwa teori konspirasi jelas melukai dunia sains. Kebenaran objektif merupakan kebenaran yang bisa dibuktikan dan memberikan hasil yang sama kepada siapapun - walaupun kamu tidak percaya hal itu sebelumnya.

Kebenaran objektif tidak sama dengan kebenaran mutlak, kebenaran objektif membuka peluang yang sangat besar untuk didiskreditkan, dibantah, atau diperbaiki. Sebagai contoh, keberadaan Hukum Newton adalah sebuah kebenaran objektif. Namun, seiring waktu Hukum Newton tidak lagi relevan terhadap benda-benda yang sangat kecil atau benda-benda yang sangat besar. Karena itu, ilmuwan lalu membantah hukum tersebut dan menggantikannya dengan teori baru - Mekanika Kuantum dan Relativitas. Hal ini bisa dilakukan karena hasil penelitian berulang kali yang dilakukan oleh banyak ilmuwan menunjukkan bahwa Hukum Newton memang tidak lagi berlaku. Kebenaran objektif dibantah dengan kebenaran objektif.

Pemercaya konspirasi, sering kali tidak bisa membantah kebenaran objektif yang ada, bumi bulat misalnya, dengan kebenaran objektif juga. Hanya berdasarkan opini yang telah mengalami cognitive bias saja. Tak jarang dari mereka yang juga melakukan penelitian mandiri, tapi sayangnya penelitian ini hanya bersifat pseudoscience tanpa didasari ilmu dasar seperti matematika dan fisika yang memadai. Tanpa pondasi yang kuat, sering kali perdebatan juga terjadi di kalangan pemercaya konspirasi seperti ada apa di ujung bumi yang datar, apakah air terjun raksasa, tembok raksasa, atau jurang sangat dalam?

Dampak Teori Konspirasi

Lalu mereka percaya bumi datar, lalu kenapa? Tidak ada pengaruhnya dengan kehidupan kita sehari-hari kan? Dampak yang ditimbulkan para pemercaya teori konspirasi memang tidak besar. Namun, di era informasi ini, audience bisa dibilang salah satu bentuk legitimasi kekuasaan. Kini, para pemercaya konspirasi dapat melebarkan sayapnya dengan menyebarkan informasi yang mereka memiliki melalui jejaring media sosial.

Lalu, apa yang mungkin terjadi? Never underestimate stupid people in large number. Di Amerika Serikat 'kemunduran' ini sangat sering kita lihat. Orang-orang pemercaya bahwa perubahan iklim atau pandemi merupakan konspirasi dengan lantangnya mulai turun ke jalan dan berdemo. Apabila hal ini menimbulkan cue yang salah di masyarakat, maka akan semakin banyak orang yang tepengaruh pola pikir itu dan akhirnya menganggap itu sebagai realita. Pada akhirnya, masalah nyata seperti perubahan iklim atau pandemi malah tidak digubris sehingga menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi.

Tips Terhindar dari Teori Konspirasi

Lalu, apakah teori konspirasi 100% salah? tidak. Banyak teori konspirasi yang malah berhasil menguak sisi gelap dari pemerintahan yang kotor atau skandal besar. Namun, apabila teori konspirasi itu sudah mencoba menyalahi kaidah ilmiah dan membantah kebenaran objektif secara subjektif, di titik itu bisa saya katakan ya.

Untuk mencegah keabu-abuan, saya sendiri lebih menyukai untuk percaya pada informasi resmi dan data yang cara mendapatkannya terbukti valid secara ilmiah. Konsep saya adalah:
Teori konspirasi belum tentu salah dan informasi resmi belum tentu benar. Namun, pada informasi resmi kamu tahu persis siapa yang harus kamu pukul ketika di suatu hari terbukti kalau informasi tersebut salah. Sementara pada teori konspirasi kamu tidak tahu siapa yang harus kamu apresiasi ketika di suatu hari terbukti kalau informasi tersebut benar.
Tentu tidak ada cara mudah untuk terhindar dari segala bias informasi, karena otak kita memang didesain untuk selalu dalam mode power saving. Melatih diri untuk berpikir kritis bisa menjadi solusinya. Mungkin berat, tapi cobalah biasakan untuk tidak mudah percaya terhadap sesuatu, menggali informasi sedalam-dalamnya terlebih dahulu, dan kuasai ilmu dasar sebanyak-banyaknya.

Referensi
  1. Boris Cheval, Eda Tipura, Nicolas Burra, Jaromil Frossard, Julien Chanal, Dan Orsholits, RĂ©mi Radel, Matthieu P. Boisgontier. Avoiding sedentary behaviors requires more cortical resources than avoiding physical activity: An EEG study. US:Neuropsychologia. 2018.
  2. Cherry, Kendra. What is Cognitive Bias?. Verywell Mind. 2020.
  3. Haselton MG, Nettle D, Andrews PW. The Handbook of Evolutionary Psychology. US:John Wiley & Sons Inc. 2005.
  4. Terinspirasi oleh kuliah Neil deGrasse Tyson berjudul Scientific Thinking and Communication di Masterclass.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kimia Unsur: Gas Mulia dan Halogen

Kimia Unsur: Alkali dan Alkali Tanah

Hereditas (Tautan, Pindah Silang, Gagal Berpisah)